Kisah yang Membangun Imajinasi Kolektif
Muakhor Zakaria, cerpenis dan kritikus sastra. Menjadi dosen perguruan tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan. Cerpen dan artikelnya bisa dibaca di kompas.id, kawaca.com, simalaba.net, klipingsastra.com, dan harian-harian lokal dan nasional.
Sepanjang abad umat manusia selalu membangun dongeng-dongeng fiktif dalam pikirannya. Apalagi ketika mereka bermaksud membangun tata sosial baru, selalu saja menciptakan cerita-cerita baru untuk menggeser cerita lama yang dianggap tandingannya. Revolusi terjadi dengan cara-cara seperti itu, di negeri manapun. Propaganda dan hoaks, bukanlah sesuatu yang baru, ia sudah tercipta selama ribuan tahun, digunakan oleh manusia untuk menggoyahkan cerita lama dan memantapkan cerita baru yang sudah mereka agendakan.
Spesies manusia mampu membangun cerita berdasarkan imajinasi, yang memungkinkan terjadinya revolusi pemikiran. Sedangkan makhluk hewan tak mungkin melakukan revolusi, karena mereka bukanlah makhluk yang berimajinasi. Spesies hewan hanya hidup di dunia nyata. Mereka hanya bisa merespons apa yang benar-benar ada di sekeliling mereka, serta tak mampu mengembangkan perilakunya secara imajinatif.
Saya pun makhluk Tuhan yang berpikir dan berimajinasi. Secara pribadi, saya menghargai setiap orang yang punya cerita macam-macam untuk menggeser keyakinan saya. Termasuk obsesi mubalig atau penceramah, atau sang penunggu makam, Syekh Majid dalam novel “Pohon Tanpa Akar” yang berhasil memperkaya diri dengan mengelabui masyarakat awam selama 32 tahun. Tetapi, apalah arti semuanya itu? Karena di mata Tuhan, tidaklah ada artinya harta meskipun mencapai milyaran, juga hanyalah fatamorgana waktu kekuasaan manusia meskipun selama puluhan tahun.
Pada prinsipnya, bagi orang-orang berilmu yang terdidik dalam iklim religiositas yang baik, tidak mungkin menerima mentah-mentah kisah mistik atau dongeng yang dibuat-buat untuk membodohi dan menakut-nakuti masyarakat. Pikiran dan imajinasi orang berilmu, hanya dapat terhubung dengan cerita yang membangkitkan kecerdasan dan kedewasaan, serta mengandung moral massage yang dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu, saya mengapresiasi pernyataan aktivis HAM Kontras, Malik Feri Kusuma yang pernah menyatakan, bahwa novel Pikiran Orang Indonesia tidak semata-mata berkutat di wilayah imajinasi liar, kemolekan diksi maupun estetika semata. Ia tidak hanya mementingkan seni sebagai hiburan belaka, melainkan sengaja ditulis pengarangnya sebagai sumber legitimasi (power of influence) untuk mengajak pembaca memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Ruh berkreasi seperti itu tidak berdiri sendiri, jika kita merujuk pada semangat para seniman Indonesia di era Balai Pustaka. Kala itu, kalangan sastrawan tak bisa melepaskan diri dari semangat untuk mendidik, terutama setelah ikrar Sumpah Pemuda hingga era kelahiran Indonesia sebagai suatu nasion.
Setelah negara baru ini lahir, segala bidang kehidupan, tak terkecuali kalangan seniman dan jurnalis memiliki semangat bergelora untuk saling membangkitkan. Rakyat dididik agar pintar, dan gerak perubahan ke arah sana mesti dipercepat. Dengan demikian hingga hari ini, seniman dan jurnalis tak bisa melepaskan diri dari kodrat manusia yang harus bangkit dalam keterpanggilan sejarah, untuk mengajak orang-orang menuju jalan kebaikan, kebenaran, dan keindahan.
Pada prinsipnya, seniman dan sastrawan tidak boleh berlari menjauhi rakyat. Mereka harus menyadari bahwa keterpanggilan itu bukan berarti mengisolasi diri dalam biara, atau beritikaf di tempat-tempat ibadah. Mereka tidak boleh bergerombol dalam komunitas sastrawan yang eksklusif, menyuarakan kebenaran dengan gaya bahasanya sendiri yang sulit dimengerti orang, dan karenanya sulit mencapai legitimasi semua pihak (universalitas).
Wilayah tulisan, literasi dan sastra, yang kemudian diakui dan dilegitimasi oleh banyak pihak, merupakan dunia tersendiri bagi orang-orang jenius yang aktif menekuni bahasa. Mereka bereksperimentasi dengan bahasa, serta keberanian mengorbankan ruang dan waktu untuk masuk dalam kegilaan menekuni bahasa. Sangat jarang orang yang diharapkan mampu memiliki ketekunan menggeluti bahasa, seperti halnya tidak semua orang memiliki ketabahan berhadapan dengan rumus-rumus matematika, ekonomi atau angka-angka dalam fisika kuantum.
Para penulis yang baik, tak lain adalah mereka yang berkarya dengan pemahaman dan filosofi hidupnya, tentang apa yang berguna bagi kemaslahatan umat. Semua itu tak lepas dari nilai-nilai esensial bagi kebaikan manusia agar dilajani. Mereka mempelajari tips-tips maupun teknik yang bagus untuk mempersembahkannya kepada publik. Di samping itu, mereka juga meyakini, sehebat apapun ide dan gagasan dalam pikiran kita, jika kita tak punya kecakapan dan kejeniusan untuk menuangkannya dalam tulisan (bahasa) yang baik, maka ide-ide besar itu akan hilang dan menguap, seiring dengan batas-batas usia kita.
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia (hal. 7), saya terkesan dengan suatu narasi yang menyatakan: “Begitulah yang saya ketahui tentang Kakek Pramudya. Entah benar entah tidak, meski saya percaya bahwa masyarakat toh tidak asal mengarang dan berbohong begitu saja. Tidak ada yang layak direkayasa dan diprogramkan bila kita memahami sumber suatu cerita, serta untuk tujuan apa suatu kebohongan itu hendak diciptakan.”
Dari perspektif lain di luar wilayah sastra, kadang-kadang saya kurang mengerti dengan ceramah-ceramah sebagian da’i kondang yang seenaknya membangun cerita fiktif, seolah-olah Firaun dan Jalut (Goliath) memiliki postur tubuh setinggi empat meter. Apa motif mereka dengan membikin-bikin cerita fiktif semacam itu? Apakah pernah mereka mengadakan riset dan penelitian di lapangan?
Tentu saja, bagi orang-orang terpelajar seperti kami, rasanya sulit mengunyah mentah-mentah doktrin yang bersumber dari penceramah atau tokoh agama manapun yang bersemangat membangun imajinasi publik dengan melakukan kebohongan semacam itu. Saya lebih percaya pada ungkapan dosen Islamologi yang bicara dengan fakta dan data-data ilmiah. Tak mungkin saya bisa diyakinkan oleh mubalig yang hanya mendengar cerita dari orang lain, kemudian semau-maunya mengembangkan cerita tersebut berdasarkan perasaan emosionalnya, tanpa bukti dan fakta riil di lapangan.
Mendengar cerita tentang Firaun (Ramses II) sebagai orang paling bahagia di muka bumi, sangat bertentangan dengan kodrat kemanusiaan bagi manusia yang tidak beradab. Justru saya berpendapat sebaliknya, bahwa Nabi Muhammad, Nabi Isa atau Nabi Musa, adalah figur-figur termulia yang memahami kualitas kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Bila kita merujuk pada film garapan sutradara Ridley Scott, Exodus: Gods and Kings (2015), kita bisa saksikan penderitaan dan kesengsaraan tokoh Firaun, karena tidak mampu menahan ego dan hawa nafsu yang melingkupi segala ambisi dan keserakahannya. Kerajaannya pernah dihantam wabah penyakit, menyusul hama yang menyerang tanaman, limbah yang mencemari sungai Nil, dan seterusnya. Berkali-kali dalam fase hidupnya, Firaun mengalami depresi dan tekanan batin, hingga tak sanggup menguasai dan mengontrol dirinya. Keyakinannya limbung antara mempercayai ahli-ahli sihir (istidraj) ataukah mendengar peringatan Musa dan Harun berdasarkan wahyu Ilahi (mukjizat).
Namun demikian, saya tidak punya hak apapun untuk melarang orang yang berdakwah dan bermaksud menggeser keyakinan yang sudah kita miliki sejak kecil. Silakan saja, sah-sah saja. Saya menghargai pendakwah dan penceramah manapun di negeri ini, yang membikin-bikin cerita fiktif di zaman kenabian. Karena memang spesies manusia selalu terhubung imajinasinya dengan menyampaikan cerita dan fiksi. Begitupun bagi Anda selaku penulis, jurnalis atau sastrawan, silakan saja Anda menulis sekehendak hatinya, semau-maunya imajinasi Anda.
“Tetapi berhati-hatilah,” demikian peringatan sastrawan Y.B. Mangunwijaya, “karena karya-karya yang pernah Anda tulis lalu dibaca oleh banyak orang, ia akan menjelma laiknya makhluk hidup, bagaikan Frankenstein, Dracula atau Liliput, yang kelak akan menuntut pertanggungjawaban dari para penciptanya.” ***